Pengetahuan mengenai katuranggan sangat penting bagi penggemar perkutut, karena dapat dijadikan pegangan penting untuk memilih dan meramalkan prestasi suara burung perkutut.
Katuranggan berasal dari kata turangga yang berarti kuda, kata Purbasasmita ketika berlangsung Seminar Perkutut di Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta. Tapi dapat juga berasal dari kata katur dan angga. Katur berarti menyampaikan, dan angga berarti badan. Jadi katuranggan adalah pengetahuan yang menyampaikan pengertian tentang bentuk - bentuk badan. Dalam bahasa Belanda, istilah katuranggan dikenal dengan sebutan exterieur ( bentuk lahiriah, bagian badan yang nampak diluar ).
Bagi para penggemar perkutut tempo dulu, katuranggan memegang peran utama ( selain bunyi suara ) dalam memilih perkutut bakalan untuk dijadikan burung kesayangannya. Sebab dengan berpegang lewat pengetahuan katuranggan, orang dapat meramalkan prestasi suara burung perkutut nantinya. Dengan demikian orang dapat menimbang, mana perkutut yang pantas dipelihara lebih lanjut dan bisa diharapkan keluar suara emasnya. Dan mana yang tidak.
Menurut Purbasasmita yang dikenal sebagai Empu Perkutut dan perajin perak Kota Gede ini, terdapat beberapa bagian yang bisa diamati untuk menentukan mutu perkutut. Diantaranya yang penting :
A. Bentuk kepala dari samping
1. Burung perkutut yang bentuk kepalanya njambe nom ( seperti buah jambe atau pinang yang masih muda ), diperkirakan mutu suaranya bisa ngepol ( maksimal ) dan keindahan suara tersebut akan terus bertahan sampai burung berusia tua.
2. Burung perkutut yang bentuk kepalanya mbeton nongko ( seperti biji nangka ), diperkirakan bunyi suaranya akan bisa bertahan sampai tua, akan tetapi keindahannya tidak dapat mencapai maksimal.
3. Burung perkutut yang bentuk kepalanya nggobog ( seperti uang logam ), diperkirakan mutu suaranya akan terus meningkat sampai pada usia tengahan atau 3 rambahan ( sekitar 24 tahun, karena per rambahan = 8 tahun ), kemudian akan menurun sesuai dengan umurnya.
4. Burung perkutut yang bentuk kepalanya mbungkul bawang ( seperti bungkul atau siung ( umbi ) bawang putih ), diperkirakan mutu suaranya tidak menentukan. Kadang dapat baik dan mengejutkan, tapi dapat juga mlempem, tak ada kemajuan.
5. Burung perkutut yang bentuk kepalanya nakir kuwalik ( takir terbalik , takir adalah tempat makanan / sesaji terbuat dari daun pisang berbentuk segi empat ), sulit diharapkan suara baiknya.
B. Bentuk paruh badan dan ekor
1. Burung perkutut kalau dilihat dari samping bentuk paruhnya ngepel ( seperti buah kapel / burahol ) dan bentuk badannya tuntut gedang ( seperti kuncup bunga pisang ) serta bentuk ekornya meruncing dengan garis - garis bulu yang jelas, burung ini bisa diharapkan tengahnya ( ketek ) bisa terdengar jelas dan baik.
2. Burung perkutut kalau dilihat dari samping bentuk paruhnya nggabah ( seperti gabah atau butiran padi ) dan bentuk badannya nongko sanglundung ( seperti buah nangka ) serta bentuk ekornya panjang dengan garis - garis bulu yang jelas tapi tumpul, diperkirakan suara tengahnya agak baik.
3. Burung perkutut kalau dilihat dari samping bentuk paruhnya mapah gedang ( seperti pelepah pisang ) dan bentuk tubuhnya mbluluk ( seperti pentil atau buah kelapa yang masih sangat muda ) serta bentuk ekornya pendek meruncing, diperkirakan suara tengahnya cukup baik.
4. Burung perkutut kalau dilihat dari samping bentuk paruh yang nglombok gede ( seperti cabe besar ) dan bentuk tubuhnya njagung nglobot ( buah jagung yang belum dikupas kulitnya ) serta bentuk ekornya panjang tapi kurang meruncing ( sehingga bulu bertumpuk dan garis - garis warnanya kurang jelas ), diperkirakan suara tengahnya kurang baik.
5. Burung perkutut kalau dilihat dari samping bentuk paruhnya seperti nglombok rawit seperti cabe rawit ) dan bentuk tubuhnya seperti wungkal gerang ( seperti batu asahan pisau yang sudah aus bagian tengahnya ) serta bentuk ekornya mekar seperti kapas, diperkirakan bunyi suara tengahnya kurang sekali, akan tetapi dapat tebal bunyinya.
Petunjuk katuranggan untuk perkutut tersebut berdasarkan pengamatan dan pengalaman orang jaman dahulu, tutur Empu yang menguasai pengetahuan tentang perkutut secara otodidak ini. Dan kita yang hidup dijaman modern sekarang ini harus membuktikannya dan tidak mencemoohkannya.
Sumber : Trubus, Februari 1988
Minggu, Maret 23, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
makasih infonya gan
Posting Komentar